Dulu Haji Bukan Sekadar Ibadah, Tapi Jalan Ilmu dan Perlawanan Kolonial
TRANSFORMASINUSA.COM || Jakarta -
Ketua Bidang Tarbiah Persatuan Islam (PERSIS), Dr. KH Tiar Anwar, M.Hum., yang dikenal sebagai sejarawan sekaligus akademisi, hadir sebagai narasumber dalam acara Silaturahmi Alumni Haji dan Umroh PERSIS DKI Jakarta Pusat (28/09/2025)
Kegiatan ini diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting pada malam ini langsung dari Mekkah.
Acara dimulai pukul 19.45 WIB dengan pembukaan oleh Ustadz Arfi. Ia menyampaikan bahwa tujuan silaturahmi adalah mempererat hubungan alumni haji dan umroh PERSIS DKI Jakarta. Dalam sambutannya, ia juga menyinggung fenomena sebagian masyarakat Indonesia yang merasa “belum lengkap” bila belum menyandang gelar haji.
Dalam tausyiahnya, Dr. KH Tiar Anwar, M.Hum. menegaskan bahwa pada masa lalu, perjalanan haji tidak hanya dipahami sebagai ibadah ritual, tetapi juga jalan menimba ilmu, meraih kehormatan, hingga menjadi motor perlawanan terhadap kolonialisme.
Menurut Dr. KH Tiar Anwar, M.Hum., berbeda dengan kondisi saat ini, keberangkatan haji di era sebelum transportasi modern membutuhkan persiapan panjang. Jamaah yang berhasil menunaikan ibadah haji dipandang sangat istimewa. Gelar “Haji” kala itu bukan hanya simbol religius, melainkan juga kehormatan sosial, setara dengan sebutan raden atau pangeran.
Ia menjelaskan bahwa para haji umumnya pulang dengan ilmu agama yang lebih luas karena belajar langsung di Makkah dan Madinah. Mereka juga berinteraksi dengan umat Islam dari berbagai negara, sehingga wawasannya berkembang dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Tak heran bila para haji sering dipandang lebih berpengaruh dibanding ulama yang belum berhaji.
“Sejarah mencatat, para haji berperan besar dalam pergerakan Islam dan perjuangan melawan penjajah. Dalam Perang Diponegoro (1825–1830), banyak kiai pendukung Pangeran Diponegoro adalah tokoh yang sudah berhaji. Di Banten dan Bogor, jamaah haji juga menginspirasi rakyat untuk melakukan perlawanan serupa,” ungkapnya.
Dr. KH Tiar Anwar, M.Hum. menambahkan, pengaruh besar tersebut membuat pemerintah kolonial Belanda khawatir. Karena itu, mereka menerapkan aturan ketat untuk mengawasi perjalanan haji. Setiap jamaah diwajibkan melapor sebelum berangkat maupun setelah kembali. “Tujuan pengawasan itu bukan untuk membantu jamaah, melainkan memastikan tidak muncul gerakan politik yang bisa mengancam kekuasaan kolonial,” jelasnya.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi interaktif antara narasumber dan peserta.
[RED]
Posting Komentar