Bank Sampah Kemuning RW 13 Studi Banding ke TPA BLE Banyumas: Belajar Mengolah Sampah Tanpa TPA Konvensional
TRANSFORMASINUSA.COM | Bekasi Selatan – Bank Sampah Kemuning RW 13 Perumahan Galaksi, Kelurahan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan, melakukan studi banding ke Tempat Pemprosesan Akhir Berbasis Lingkungan dan Edukasi (TPA BLE) Banyumas untuk mempelajari sistem pengolahan sampah modern yang telah diterapkan daerah tersebut setelah tidak lagi memiliki TPA konvensional. (15/11/2025)
Rombongan RW 13 diterima langsung oleh tim pengelola TPA BLE. Dalam paparannya, pimpinan TPA, Edi, menjelaskan bahwa Banyumas pernah menghadapi krisis sampah serius yang memaksa perubahan besar dalam sistem pengolahan.
“Kami bukan tempat pembuangan akhir, tetapi tempat pemprosesan akhir berbasis lingkungan dan edukasi. Tahun 2017–2018 Banyumas punya tiga TPA konvensional, semuanya ditutup warga. Sejak 2019 hingga sekarang, Banyumas tidak memiliki TPA konvensional. Karena itu, semua sampah harus kami olah bersama masyarakat,” ujarnya.
Kondisi darurat tersebut menjadi titik balik bagi Banyumas. Pemerintah daerah melakukan sosialisasi masif kepada masyarakat: jika menolak TPA konvensional, maka warga harus terlibat dalam pengolahan sampah. Dari proses itu lahirlah konsep TPA Berbasis Lingkungan dan Edukasi (BLE), yang saat itu belum diterapkan di daerah lain. Gagasan ini dirumuskan melalui kolaborasi Bupati Banyumas kala itu, Ir. Achmad Husein, bersama para ahli lingkungan hidup, teknik sipil, dan arsitektur dari bidang pekerjaan umum.
Pada 2019, Banyumas mulai menerapkan skema pengolahan sampah rumah tangga berbasis sosial, yaitu pemerintah membeli sampah dari warga.
“Sampah organik kami beli Rp100 per kilogram. Nilai totalnya sebenarnya Rp300 per kilogram: seratus untuk rumah tangga, seratus untuk pengangkut—yang juga berasal dari warga dan bank sampah—dan seratus lagi untuk tim pengolah. Semua transaksi dilakukan secara non-tunai melalui aplikasi,” jelas Edi.
Banyumas juga membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) untuk menangani sampah yang tidak sempat dipilah warga. Warga yang menyerahkan sampah ke KSM dikenakan biaya layanan mulai Rp15.000 hingga Rp50.000 per bulan.
Di TPA BLE, semua jenis sampah diolah kembali. Sampah organik diubah menjadi bubur sampah, dikeringkan, dicacah, diayak, kemudian diproses menjadi biomassa untuk PLTU melalui metode co-firing, baik dalam bentuk curah maupun pellet. Sebagian organik digunakan sebagai media budidaya maggot, dan sisanya menjadi bahan campuran semen.
Sementara itu, sampah nonorganik diolah menjadi paving block, genteng, hingga bahan bakar alternatif RDF (Refuse Derived Fuel) yang dikirim ke pabrik semen—sekitar enam truk tronton setiap hari. Adapun sampah residu dibakar dan abunya dimanfaatkan kembali sebagai bahan pembuatan batako.
“Suksesnya TPA BLE Banyumas tidak lepas dari letak wilayah yang strategis—dekat dengan pabrik semen dan PLTU sehingga biaya pengolahan menjadi lebih efisien. Ditambah lagi dengan dukungan masyarakat yang sangat kuat,” tambah Edi.
Ketua Bank Sampah Kemuning RW 13, Kosasih, menilai kunjungan ini sangat bernilai.
“Tujuannya untuk mempelajari bagaimana Banyumas mengelola sampah secara terpadu dan memberdayakan masyarakat. Banyak praktik baik yang bisa kami adopsi untuk memperkuat program lingkungan di RW 13,” ujarnya.
Kegiatan ditutup dengan kunjungan ke lokasi produksi paving block. Suasana penuh antusias, bahkan diselingi canda. Saat Pak Supriyadi melontarkan gurauan, “Setelah ini lanjut studi banding ke Ethiopia,” seluruh peserta tertawa riuh—menutup perjalanan belajar yang hangat dan penuh inspirasi.
[Red] Syarifuddin
Posting Komentar